Saturday, October 17, 2009

Dokter yang Berbisnis

Bismillah..

Saya ditanya oleh salah satu saudara saya, “dokter yang sukses itu seperti apa?” saya pun menjawab, “dokter yang bisa menolong orang banyak” Jawaban klise, tapi memang itulah esensinya menurut saya. Saudara saya berkata lain, “dokter yang sukses itu tidak hanya sekedar menjadi dokter, tapi juga dokter yang berbisnis” kurang lebih seperti itulah yang dikatakannya. Senyum, itulah respon saya. Otak saya terus berputar, berpikir makna ‘dokter yang berbisnis’. Apa sebenarnya maksud dokter yang berbisnis ini? mungkin, dokter yang juga menjalankan sebuah usaha lain sehingga dia pun mendapatkan profit dari usahanya itu. Iya, semoga seperti ini maksudnya. Bisa saya terima kalau dokter melakukan usaha dan bisnis di bidang lain selain di bidang kesehatan maupun social. Tapi apakah kesuksesan hanya bisa diukur dengan profit atau uang yang diperoleh dari usahanya itu? Hm.. saya tidak yakin jika kesuksesan hanya diukur dari segi hasil saja.  

Lalu, bagaimana jika maksud dari dokter yang berbisnis adalah seorang dokter yang menjadikan profesi dokternya sebagai ladang usahanya, sebagai peluang besar untuk berbisnis dan mengahsilkan profit yang besar?

Dokter merupakan suatu profesi non profit, tapi profesi yang berlandas kemanusiaan. Jiwa sosial lah yang lebih diutamakan. Dokter bukan sebuah profesi berlandas profit, dimana keuntungan yang menjadi sasaran utama dan target kerja kita. Materi hanyalah efek samping profesi dokter. Maksudnya apa? Jadi tujuan dan sasaran dari perjuangan seorang dokter juga segala usaha yang dilakukannya adalah atas dasar ingin menolong, lalu masalah jasa yang kita berikan dihargai berapa pun oleh orang tidak menjadi prioritas kita, karena kita ikhlas melakukannya. IKHLAS, inilah kuncinya. Ketika kita ikhlas hanya ingin mencapai ridho Allah, maka insyaAllah kita tidak akan ngoyo dan akan selalu memberikan yang maksimal. Saya ingat kata-kata teman saya, “kalau menolong atau memberi itu harus maksimal, jangan setengah-setengah”. Dengan ikhlas cukuplah bagi kita dengan kesembuhan dan senyuman pasien untuk kita sebagai balasannya. Kesembuhan pasien adalah hadiah tidak terkira bagi seorang dokter. Hadiah dimana hanya Allah yang bisa memberinya. Dokter hanya bisa berusaha dan tetap menyerahkan hasilnya pada Allah. Hidup mati bukanlah dokter yang menentukan. Jadi janganlah khawatir selama kita sesuai dengan protap serta pemberian pelayanan maksimal terhadapa pasien, maka pasien pun akan memahami. Saya belum merasakan semua itu, saya pun tidak tau kelak akan seperti apa, tapi itu yang saya tanam dalam diri saya saat ini. Cukuplah kebahagiaan dan senyum pasien yang menjadi balasan jasa saya. Allah Maha Penyayang dan Maha Pengasih, Dia tidak akan member cobaan yang tidak sanggup diemban hambaNya, Dia tidak mungkin menelantarkan hambaNya, saya tidak takut dengan minimnya gaji saya kelak, sehingga saya tidak perlu mengerahkan segala kesempatan yang ada untuk memanfaatkan pasien untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Ini dia dokter yang berbisnis. Bisa berbisnis dengan salah satu perusahaan obat, hanya dengan menuliskan resep obatnya dengan iming-imingan imbalan yang tidak kecil. Atau berbisnis dengan laboratorium atau apotek tertentu. Bisa juga berbisnis dengan alat pemeriksaan (USG, Foto, dsb) sehingga berlebih-lebihan menyuruh pasien untuk pemeriksaan yang sebenernya tidak begitu penting, hanya ingin memenuhi target keuntungan pembelian alat tersebut aja. Tidak banyak memang dokter yang seperti ini, hanya segelintir dokter saja, yang telah salah dalam menerapkan kaidah berbisnis pada prinsip kemanusiaan.

Ingin berbisnis, maka carilah pekerjaan lain yang lebih manusiawi dan masuk akal, masa iya kita melakukan bisnis manusia. Kedokteran itu kontentnya manusia, bukan benda, apakah pantas manusia dibisniskan?

Wallahua’lam

[tentang dia] she's my twin, heee??

Dialah Gisda! Kembaranku.. Teman sejatiku..

Bagaimana tidak, kami selalu bersama. Sampai-sampai kami membuat orang-orang kebingungan. Tidak jarang kami salah dipanggil, ada aja yang manggil aku dengan sebutan gisda, begitu juga gisda yang tak jarang pula dipanggil ima. Sebenernya, rodo heran, padahal kami nggak ada miripnya. Tampang, gisda lebih ok! Otak, beuh..g usah ditanya soal ini! Tapi teuteup, ima emang ok! *haha..ini id laptopku saudara-saudara..

Tak jarang pula, kalo ketemu orang di jalan dan aku dalam keadaan berjalan sendiri, aku akan ditanya, "ko nggak sama gisda?" hehe.. Bingung deh jawabnya. Lah, kami kan juga punya urusan masing-masing, kami pun tak sekos, yo wajar kami tak selalu bersama. Tapi mereka heran mungkin ya.. Secara kami lebih sering dijumpai dalam bentuk paket berdua dari pada berdiri sendiri.

Terus masalah tempat tinggal. Kami tidak sekos tapi masih sewilayah, orang-orang pun dengan isengnya senantiasa bertanya, "kalian sekos ya?", kami jawab tidaklah, tapi ini membuat mereka semakin heran dan meneruskan bertanya, "ko g sekos?" Haha.. Mau jawab apa loh klo gini..

 

Kami berasal dari daerah yang sama, Cirebon! Kami dari SMA yang sama, SMA 1 Cirebon! Cirebon'ers..

Tapi dulu kami bahkan tidak pernah berbincang, hanya mengenal nama dan tau orang. "Oh..itu to yang namanya Gisda.." Saat SMA aku cuma tau, Gisda itu pintar dan rajin, tapi kami tak pernah sekelas ataupun satu ekskul. Aku selalu ingat kata-kata temenku tentang Gisda, "Gisda itu orang yang sangat rajin membeli buku dan hebatnya dia akan membacanya." Kalo aku seneng beli buku, tapi g dibaca-baca. Terus, Gisda dulu terkenal, sementara aku.. Jauh lebih terkenal..*haha..jangan percaya..

Waktu pertama masuk UNDIP, aku cuma mengangguk-angguk. Ada temanku yang menjadi perantara, Qnyonk, dia teman sekelas waktu kelas 3, dan dia dekat juga dengan Gisda. Awalnya canggung dan lebih senang berkomunikasi dengan Qnyonk dibandingkan dengan Gisda. Tapi, waktu semakin berjalan, justru akhirnya aku dan Gisda menjadi sangat dekat, sementara aku semakin jarang berkomuniaksi dengan Qnyonk.

Bagaimana tidak, situasi dan kondisilah yang selalu menyatukan kami, dan itu semua karena NIM kami yang deket, gisda 072, ima 078. Kami selalu sekelas, seperti apapun diacaknya, atas-bawah, yo sekelas..kami sama-sama nim atas. Ganjil-genap pun yo kita tetep bersama, sama-sama nim genap. Deketnya NIM, ternyata membuat kami selalu berjodoh, selalu sekelompok, jarang banget kami berbeda kelompok. Satu-satu penyebab kami dikelompok yang berbeda adalah karena kelompok ditentukan secara acak. Udah gitu, parahnya kami satu dosen wali, dr.Hermina. Sebenernya senang, saat baru awal masuk dimana kita berada di lingkungan baru, ketika ada yang dikenal akan lebih nyaman rasanya, itu yang saya rasakan. Hal ini pun yang akhirnya kita selalu berangkat bareng, atau paling tidak duduk sebelahan. Lama-lama kami, tidak pernah lagi nempatin tempat, tapi tetep aja kami lebih sering duduk berdampingan. Kemana-mana lebih sering bersama.

 

Kelas, dosen wali, kelompok, duduk sebelahan, rasanya belum cukup bagi kami untuk selalu bersama, bahkan organisasi yang kami geluti sama, kami punya kecocokan, kami punya minat yang sama, sehingga kami pun ada di organisasi yang sama, KSM, ROHIS, RHEU, AMT. Bener-bener kebersamaan yang tidak habis-habisnya. Dulu pun kami satu kelompok mentoring, tapi sekarang sudah tidak. Lengkap sudah kebersaan kami. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, dan sekarang sudah tahun demi tahun kami masih bersama. Di kelas yang sama, di kegiatan yang sama, di organisasi yang sama, dengan dosen wali yang sama, bahkan dengan kelompok yang sama. Oia, bahkan penelitian kami buat tugas akhir sama, dengan dosen pembimbing yang sama dan topik yang sama, juga berlelah-lelah yang sama..

 

Bossseeeeeen.. ya bisa dibilang bosen, eneg, pusing, yang diliat, gisda lagi..gisda lagi..haha..*justcanda..

 

But, however u, luv u coz Allah, Uhibbukifillah gisda..

Semoga pertemanan ini abadi. Semoga ketemu gisda lagi di surga Allah kelak..amiinn..

Ketika Gizi Buruk Kian Menggeser Generasi Bangsa

Tiga Balita Menderita Gizi Buruk di Depok; Ditinggal Ibu Kawin Lagi, Komar Alami Gizi Buruk; Korban Tewas Gizi Buruk di NTT Sembilan Orang; Gizi Buruk Meningkat, Sumba Ambil Langkah Darurat; Enam Balita Penderita Gizi Buruk Meninggal Dunia;  30% Balita di Indonesia Gizi Buruk; 2.068 Balita di Surabaya Derita Gizi Buruk; 2 Anak Gizi Buruk di Bogor Terima Jamkesmas; Dua Anaknya Gizi Buruk, Ibu Muda Masuk RSJ; 2.500 Balita Tangerang Kurang Gizi,” itulah deretan judul yang menghiasi pelbagai media masa di Indonesia. Judul-judul ini membuat saya miris ketika membacanya. Balita dan anak-anak yang merupakan cikal bakal kehidupan, harapan bangsa Indonesia untuk membangun negeri ini kelak, mengalami sebuah nasib yang sangat mengenaskan. Kasus gizi buruk ini ditemukan hampir di seluruh pelosok Indonesia, mulai dari daerah yang terpencil, hingga kota besar seperti Jakarta yang notabene merupakan pusat kehidupan bangsa Indonesia.

 

Saya sebagai generasi muda merasa sangat prihatin melihat kondisi anak-anak Indonesia saat ini. Mereka adalah anak-anak yang nantinya akan meneruskan perjuangan generasi sebelumnya untuk melanjutkan kepemimpinan dan perjalanan Negara Indonesia ke depannya. Mereka adalah tampuk kehidupan masa yang akan datang. Dua puluh hingga empat puluh tahun kedepan, saatnya mereka memimpin dan meneruskan perjuangan kita untuk membangun Indonesia tercinta. Tetapi, apakah mereka ada saat itu? Jika kondisi mereka saat ini saja tidak mendukung keberadaan mereka. Kehidupan dan kondisi kesehatan mereka yang jauh dari kata layak ini, seperti halnya gizi buruk, bisa mengancam kehidupan mereka. Siapakah yang nantinya akan meneruskan perjuangan dua atau tiga puluh tahun mendatang? Akankah tiba saatnya lost generation di Indonesia ?

 

Kasus gizi buruk di Indonesia menempati kasus terbanyak yang dijumpai. Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian bayi, tahun 2002/2003 terdapat 35 bayi yang meninggal di antara 1000 bayi yang dilahirkan yaitu sekitar 3,5% bayi meninggal, jika dihitung per hari ada 430 kematian bayi di Indonesia; terdapat kematian balita sebanyak 46 balita diantara 1000 balita yang lahir, jika dihitung per hari ada 566 kematian balita di Indonesia; Pada tahun 2005 jumlah anak kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta, dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus-kwasiorkor). Selama periode bulan januari-maret 2008, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) juga telah mencatat 6454 kasus gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia, diantaranya adalah Bone, Semarang, Kalimantan Tengah, Rote-Ndao (Flores NTT), Pinrang (Sulawesi Selatan), Jember, Bekasi, Trenggalek, Temanggung, Aceh, Surabaya, Tegal, Purworejo, dan Medan. Ini merupakan jumlah yang tidak sedikit. Pada tanggal 12 Desember 2008, ketua komisi IX DPR RI memberikan data di sebuah Koran online di Indonesia bahwa ada sekitar tiga puluh juta anak Indonesia menderita gizi buruk dari total anak Indonesia yang berjumlah 110 juta. Ini berarti 30% anak Indonesia telah menderita gizi buruk. Belum lagi masih begitu banyak kasus-kasus yang mengancam kehidupan anak Indonesia lainnya, seperti penyakit karena infeksi, kekerasan pada anak, bencana alam, semuanya itu dapat mengancam kehidupan anak Indonesia ke depannya. Gizi buruk sendiri sudah menjera 30% anak Indonesia dan dapat menyebabkan kematian pada anak.  Kalau pemerintah tidak juga menaikkan Anggaran dana untuk kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia, maka nasib anak Indonesia pun akan sulit untuk diubah.

 

Gizi buruk yang terjadi di Indonesia salah satunya disebabkan karena tingkat kemiskinan di Indonesia, sehingga pemenuhan gizi seimbang dan mencukupi pun sangat sulit untuk dipenuhi. Kemiskinan yang menjera sebagian besar penduduk Indonesia pun menjadi kendala bagi orang tua untuk membawa anaknya ke pusat kesehatan yang ada walaupun anaknya sudah ada tanda-tanda sakit atau mengalami gizi buruk. Faktor lain yang menyebabkan hal ini adalah tingkat pendidikan orang tua yang rendah, sehingga mereka tidak mengetahui masalah gizi buruk yang menimpa anak-anak mereka. Sebagian besar orang tua tidak memahami bagaimana pemenuhan gizi anak yang benar, sehingga mereka hanya memberikan makanan yang mampu dibeli tanpa melihat tingkat kebutuhan nutrisi bagi anak di usia pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan orang tua yang rendah pun mengakibatkan minimnya ilmu yang mereka peroleh tentang perkembangan anak maupun kondisi fisik anaknya. Ketidaktahuan mereka akan gejala-gejala penyakit dan gizi buruk pada anak mengakibatkan keterlambatan dalam penanganan dan pengobatan.

 

Di samping itu, faktor lingkungan dan budaya pun mengambil peranan dalam masalah ini. Budaya menonton televisi telah menjamur di Indonesia. Sebagian besar anak-anak menganggap bahwa televisi merupakan kebutuhan utamanya. Mata mereka terpaku terus-menerus, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam hanya di depan televisi. Semua acara mereka tonton, terutama iklan-iklan yang akan selalu disiarkan di setiap jeda suatu acara televisi. Iklan-iklan ini banyak sekali mempertontonkan aneka jenis jajanan anak-anak yang dikemas sangat sempurna. Dari segi bahasanya yang sangat persuasive hingga  gambar-gambar yang menarik, bahkan diiming-iming oleh hadiah, membuat anak-anak tergoda untuk mencicipinya. Belum lagi aneka jenis jajanan anak ini terjejer dan tergatung rapih di kios-kios pasar. Kondisi ini akan menarik perhatian anak-anak ketika mengikuti orang tuanya ke pasar. Awalnya mereka meminta agar orang tuanya membelikan mereka, jika orang tua menolak, mereka akan megeluarkan jurus merengeknya, sehingga orang tua pun merasa tidak tega dan akan membelikannya. Akhirnya, seiring dengan waktu, anak-anak terbiasa untuk memakan jajanan tersebut. Hal ini mengakibatkan anak cenderung lebih menyukai makanan kecil tersebut  dibandingkan masakan ibunya yang lebih sehat dan lebih bergizi. Kepraktisan yang dialami orangtua dengan memberikan makanan olahan pabrik ini pun membuat para orang tua lebih memilih untuk membelikan anak mereka. Selain itu, budaya Indonesia yang mulai menggeser ke arah budaya Barat telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat Inodnesia. Saat ini, gaya hidup ala orang barat lebih digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Misalnya dalam hal makanan, dimana fast food yang berasal dari negara barat lebih digemari dan telah menjadi trend makanan masyarakat sekarang. Padahal fast food sendiri merupakan makanan olahan yang tidak sehat. Tidak sedikit pula, fast food yang tidak melabelkan komposisinya sehingga tidak diketahui nutrisi yang terkandung di dalamnya. Rasanya yang enak cenderung membuat anak menjadi suka dan lebih menggemari makanan seperti ini dibandingkan makanan olahan rumah yang lebih sehat dan bergizi.

 

Budaya memberi Air Susu Ibu (ASI) yang rendah saat ini pun menjadi kendala bagi pemenuhan gizi bagi anak. Ibu-ibu sekarang merasa lebih terhormat jika membelikan anaknya susu formula. Harga susu formula yang mahal membuat mereka bangga ketika membelikan anak-anak mereka susu formula. Mereka bangga bisa disebut sebagai orang kaya yang mampu membeli susu formula dengan harga yang mahal, padahal kandungan yang ada tidaklah sebaik ASI. ASI merupakan susu yang paling sempurna untuk anak hingga usia dua tahun. Bahkan sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dan dianjurkan untuk pemberian ASI Klaustrum saat pertama kali ASI keluar. ASI ini sanagt baik, selain kandungannya yang mudah dicerna oleh bayi, dalam ASI ini terkandung banyak antibodi yang baik untuk kekebalan tubuh bayi. Kandungannya yang mampu diserap oleh tubuh bayi mencegah bayi mengalami diare. Dengan tercegahnya bayi dari diare maka tercegah pula bayi dari dehidrasi dan kematian akibat kurang gizi. Manfaat ASI yang baik ini akhirnya tidak dapat dirasakan oleh bayi jika para ibu tidak bersedia untuk memberikan ASI pada anak-anak mereka.

 

Sunggguh sebuah dilema, dimana ketika masyarakat yang tidak mampu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi anak-anaknya maupun diri sendiri, tapi di sisi lain orang-orang kaya menghambur-hamburkan uangnya dengan membeli makanan bagi anak-anaknya dengan harga mahal tapi tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang mereka. Kemudian, di sisi lain, seorang ibu mampu meninggalkan anaknya demi bekerja, padahal anak butuh kasih sayang dan perhatian mereka. Kesibukan mereka mampu mengalahkan kepentingan anaknya sampai mereka enggan untuk memberi ASI kepada anaknya hanya karena alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Ini membuat hak anak untuk mendapatkan ASI pun hilang. Hahl ini mengakibatkan anak pun menjadi kekurangan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.

 

Di sisi lain, masalah pun datang dari pemerintahan dimana masalah tidak diselesaikan dengan sebaik mungkin dan hambatan tidak segera diatasi. Manajement kesehatan Indonesia mengambil peran dalam masalah yang sangat pelik ini. Masalah yang sebenarnya telah hampir dapat teratasi dengan baik hingga tahun 2000, dimana kasus gizi buruk telah menurun menjadi 24,6%, jika dibandingkan dengan sebelumnya pada tahun 1989 kasus gizi buruk sebesar 37,5%. Hal ini dikarenakan berfungsinya posyandu dengan baik. Adanya Posyandu sebenarnya sangat membantu dalam mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia ini. Kenyataannya kasus gizi buruk meningkat kembali di tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2005 dijumpai 29% kasus gizi buruk. Peningkatan kembali kasus gizi buruk ini diikuti dengan peran posyandu yang perlahan mulai hilang, tinggal 40% dari kurang lebih 250.000 posyandu yang masih aktif saat ini. Perlu pembenahan manajement kesehatan kembali agar lebih baik dalam mengatasi masalah kesehatan di Indonesia. Data lain mengatakan bahwa Dari segi biaya kesehatan, minimnya anggaran kesehatan menyebabkan masyarakat miskin hanya bisa pasrah apabila sakit, rasanya enggan untuk pergi ke dokter atau rumah sakit, biaya untuk makan saja sangat sulit untuk dipenuhi, apalagi harus pergi berobat yang artinya mereka harus mengeluarkan uang yang besar sekali, bahkan lebih besar dari biaya makan mereka. Anak-anak pun menjadi tumbalnya, mereka yang masih relatif rentan dan belum baik sistem pertahanan tubuhnya ditambah lagi dengan pemenuhan nutrisi yang sangat minim, akan mudah terserang suatu penyakit. Pertolongan yang telat pada anak pun akhirnya bisa mengakibatkan kematian.

 

Kondisi ini seharusnya tidak akan terjadi bila tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia sudah baik. Anak-anak selayaknya mendapat perhatian yang cukup terutama dalam pemenuhan gizinya, sehingga diharapkan dengan nutrisi yang baik akan menciptakan anak-anak dengan kualitas prima untuk dapat melanjutkan kehidupan bangsa ini. Para orang tua yang secara fisik maupun psikis merupakan orang yang paling dekat dengan anak sangat diperlukan peranannya dalam menjaga dan memberikan perhatian lebih. Apabila Indonesia ingin menjadi Negara yang maju, maka anak-anaknya pun harus maju dan sehat. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat segera menyelesaikan pekerjaan rumah dalam pengentasan kemiskinan juga dalam  meningkatkan anggaran untuk kesehatan anak-anak di Indonesia. Selain pemerintah, peran lingkungan masyarakat mutlak diperlukan, terutama praktisi kesehatan. Pemberian penyuluhan dan pendidikan akan pentingnya gizi untuk anak-anak setidaknya dapat membuka pengetahuan orang tua khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memantau perkembangan anak. Pemenuhan gizi seimbang dan pola asuh yang baik harus diterapkan oleh para orang tua. Komunikasi Informasi dan Edukasi akan gizi anak yang baik harus disosialisasikan ke masyarakat luas agar masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan bisa menerapkannya di kehidupan. Pemberian makanan sesuai standar gizi di usia pertumbuhan dan perkembangan anak jika perlu digalakkan besar-besaran untuk keluarga yang tidak mampu. Anggaran untuk pendidikan pun sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin agar seluruh anak-anak Indonesia yang tidak mampu, bisa tetap mengenyam pendidikan. Bukan hanya wajib belajar sembilan tahun lagi, tetapi diharapkan dapat menjadi wajib belajar dua belas tahun, sehingga dalam beberapa dasawarsa kedepan anak Indonesia semuanya terpelajar. Bila semua upaya tersebut dapat direalisasikan, maka saya optimis, anak-anak Indonesia menjadi anak yang sehat, pandai dan sejahtera serta mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih berkualitas. Marilah kita perbaiki hidup anak-anak Indonesia untuk kehidupan bangsa Indonesia yang akan datang menjadi lebih baik.

Friday, October 2, 2009

ralat: kiriman bantuan korban Sumbar

Salurkan bantuan saudara kita korban gempa SumBar melalui rekening Mer-C di:
1. BCA cabang Kwitang a.n. Medical Emergency Rescue Committee
no. rek: 686.0099339
2. Bank Syariah Mandiri (BSM) cabang Kramat a.n. Medical Emergency Rescue Committee
no. rek: 128.0011802

Salurkan bantuan saudara kita korban gempa SumBar melalui rekening Mer-C di BCA cabang Kramat a.n. Medical Emergency Rescue Committee: no. rek: 686.0099339 info: www.mer-c.org

Simpang LIma, Semarang


itu lapangan simpang lima..
kalau hari sabtu malem sampai minggu pagi rame banget..
banyak penjual kaki lima yang berjualan..
Saya juga pernah berjualan awul-awul di sana buat danus sebuah acara..seruuu deh..

Tak sangka..saya sudah 4 tahun berada di kota ini..
kota yang sebelumnya pun belum pernah kuinjakkan..tapi..takdir Allah mengatakan lain, bahwa saya harus tinggal di sini untuk menuntut ilmu..
Alhamdulillah..saya bersyukur bisa menuntut ilmu di kota ini..bersama teman-teman yang selalu mengingatkan saya dalam kebaikan..

Ternyata Semarang cukup nyaman menjadi tempat tinggal..walaupun panasnya yang luar biasa..tapi saya sudah terbiasa hidup di lingkungan dengan temperatur tinggi, jadi tidak begitu memperdulikan..

Yang paling khas dari Semarang adalah simpangnya banyak banget..
Pertama kali tiba di Semarang saya bingung karena semua simpang yang saya lewati jumlahnya lima..terus mana sebenernya yang simmpang lima??
hehe..ternyata simpang limanya ada di tengah kotanya..
Banyaknya simpang membuat saya pusing mengenali jalan di sini..tapii..lama-lama seiring dengan waktu saya ngerti juga..

Padang-ku Hancur

Aku tidak menyangka, serangan kali ini begitu dahsyat..

Dulu..ku tahu..kau pernah mendapatkan serangan ini, tapi kemudian engkau bangkit..

Juga hanya sedikit yang musnah..

Tapi..saat ini..kau hampir rata..

Bahkan tidak sedikit jumlah manusia yang musnah..

 

Aku sedih,

Bagaimana nasib sahabat-sahabat ku di sana?

Bagaimana nasib saudara-saudara ku di sana?

Listrik mati..

Kau gelap gulita di sana, Alhamdulillah masih ada bulan dan bintang yang menerangi..

Jaringan pemancar mati..

Sinyal hilang..sulit kami menerima kabar berita darimu..

Alhamdulillah masih ada televisi yang menyiarkanmu..

 

Sekali lagi Indonesia di serang..

Sekali lagi Indonesia di coba..

Sekali lagi Indonesia di ingatkan..

Sekali lagi..

Tapi..

Apakah kita telah sadar..

nikmat Tuhanmu yang manakah yang telah engkau dustakan?

 

Semarang, 02 Oktober 09

*saat teringat akan kota Padangku tersayang yang indah alamnya yang baik orangnya yang kaya budayanya yang bervariasi makanannya yang banyak tempat wisatanya yang khas beras soloknya yang sangat indah pantainya..semua kenangan akan kota ku tersayang, Padang.. (sangat ingin mengunjungimu kembali ^^,)

Semoga gempa besar ini tidak membuatmu menyerah juga tidak memusnahkan iman saudara-saudaraku semua di sana, maupun seluruhnya yang menyaksikan..amin..

Saya, si Monster Pemakan Pulpen

Bismillah..

Kenapa Monster? Soalnya bener-bener udah kelewatan, semua pulpen dilahap, habis, musnah, hilang ntah kemana, tak bersisa. Bahkan tidak hanya pulpen milik saya yang jadi korban, pulpen lain milik teman-teman pun bisa-bisa hilang, musnah, tak kembali, dan tak berjejak, kalau sudah saya pegang.

Saya itu bener-bener g bisa betah setia dengan satu pulpen hingga habis, heran saya juga. Kalau tidak hilang, ya mati.. Pernah sekali saya bertahan dengan satu pulpen, benar-benar hingga habis tintanya, wah..bukan main senangnnya waktu itu..Bangga saya..Takjub bukan main..hehe.. *lebaymodeon

Tangan saya ini ajaib sekali, bisa dengan gampangnya membiarkan pulpen-pulpen tersebut menghilang dalam sekejap.

Pengalaman saya dengan pulpen:

Setiap memakai pulpen, selalu saja baru beli beberapa hari, seminggu paling nggak, tiba-tiba pulpen tersebut tamat riwayatnya, tidak lagi sanggup meninggalkan jejaknya di kertas. Kemudian, saya sering sekali tidak membawa pulpen, jadilah saya sering pinjam sana sini. Selain itu, saya sering kehabisan pulpen juga, akhirnya saya pilih cara yang  saya pikir akan sangat mujarab, yaitu beli se-kotak. Tapi ternyata, dalam sekejap pulpen itu sudah ludes dari kotaknya. Ko iso? Kemana mereka semua?

Jawabannya, tidak lain tidak bukan, hampir tiap hari saya comot dari kotaknya, gara-gara saya selalu menghilangkannya, ditambah kondisi buru-buru ketika berangkat kuliah, jadilah saya pilih cara cepat: ambil pulpen baru di kotak. Begitu pula esoknya..juga esoknya.. Tekor juga nih kalau gini, pikir saya.

Selain itu, saya pun sering berfikir, ada di tas nih pulpennya, langsung aja dengan tenang pergi kuliah. Tidak jarang saya tiba-tiba grasak-grasuk mencari pulpen di tas, tapi tak kunjung ditemukan, akhirnya teman sayalah yang jadi korbannya. Yang jadi masalahnya adalah, hampir sangat jarang sekali, saya berhasil mengembalikan kembali pulpen teman saya ini dengan utuh kembali ke tangan mereka. Hehe.. Soalnya, saya itu pelupa kronik, walau dengan sekuat tenaga saya ingat-ingat agar tidak lupa mngembalikan, tapi tetep saja saya lupa, dan tak sengaja terbawa pulang. Kalau seperti ini sudah bisa dipastikan pulpen tersebut jadinya musnah dan tak kembali lagi ke tangan pemiliknya. Esoknya, saya hanya bisa mendatangi mereka degnan tampang sok memelas, lalu minta maaf, hehe.. Selalu dan selalu seperti itu.. Pernah sih kembali dengan selamat ke pemiliknya, tapi sepertinya bisa dihitung. Atau nggak, kembalinya dalam waktu yang cukup lama, ketika tiba-tiba saya menemukannya. Tapi, Lebih banyak yang tidak kembali masalahnya. (teman..suatu saat akan saya kembalikan..hehe..)

Alhamdulillah, korban saya tidak jauh-jauh, teman-teman dekat saya juga. Mereka sampe bosen kali ya, kalau saya minjem pulpennya. Dan setiap saya ingin menggantinya, mereka semua nggak ada yang mau. Bahkan ada temen saya (baca: Luluk) yang bilang, “tenang ma, setiap aku minjemin pulpen ke kamu, aku udah ikhlas ngasih pulpen itu ke kamu” haha.. soalnya dia tau, kemungkinan untuk kembalinya 50:50. Maaf ya teman,, tapi mau bagaimana lagi, saya pun butuh pulpen untuk menulis saat itu. Akan saya usahakan agar kecerobohan saya memegang pulpen berkurang. Doakan juga ya.. supaya kalian tidak lagi menjadi korban saya..

Yang mengharukan lagi, waktu saya pinjem pulpen kemarin. Sebelumnya, saya ucapkan, “tolong tagih saya ya sebelum pulang! Saya takut lupa..” taman saya berkata, “masa udah dipinjemin, terus minta diingetin lagi” saya tertawa, “kan kamu tau aku suka lupa” tapi, teman saya malah berkata, “aku percaya ko sama ima”, hikss… mengahrukan.. dia (baca:nisa) berkata seperti itu.. serasa terkoyak-koyak ini.. hehe.. *lagi-lagi..lebaymodeon

Lalu, saya disarankan ini itu sama teman saya agar saya bisa lebih hati-hati. Ni diantara saran-saran tersebut, saya bagi-bagi, siapa tau ada diantara kalian yang ceroboh juga seperti saya:

·        Beli pulpen mahal sekalian. Supaya kita jadi sayang kalau hilang, jadi bisa lebih menjaga.

·        Beli pulpen satu aja. Supaya kita merasa cuma punya satu-satunya, jadi lebih dirawat biar tidah hilang karena tidak ada penggantinya lagi.

·        Beli pulpen kalung kaya waktu SD dulu. Supaya pulpennya dikalungin kemana-mana, jadi g pernah lepas dari kita, bisa awet deh, g hilnag kemana-mana. Ini sarang konyol menurutku, masa iya kita gantungin pulpen kaya anak-anak lagi. Hm..tapi klo ada yang mau ngasih saya pulpen seperti itu, saya mau aja.

Hanya segitu sih saran yang saya ingat. Baiklah! Akan saya coba saran teman-teman (saran pertama dan kedua saja tapi). Sudah saya beli pulpen baru, sebuah pilot hi-tec-c seharga Rp 16.000,00. Semoga saran kalian manjur. Sudah saya bela-belain membeli pulpen mahal sekali, biasanya saya cuma beli pulpen seharga seribuan aja. Tapi, untuk perubahan yang lebih baik, saya pun membelinya. Semoga awet ya kali ini..amiinn..