Saturday, October 17, 2009

Ketika Gizi Buruk Kian Menggeser Generasi Bangsa

Tiga Balita Menderita Gizi Buruk di Depok; Ditinggal Ibu Kawin Lagi, Komar Alami Gizi Buruk; Korban Tewas Gizi Buruk di NTT Sembilan Orang; Gizi Buruk Meningkat, Sumba Ambil Langkah Darurat; Enam Balita Penderita Gizi Buruk Meninggal Dunia;  30% Balita di Indonesia Gizi Buruk; 2.068 Balita di Surabaya Derita Gizi Buruk; 2 Anak Gizi Buruk di Bogor Terima Jamkesmas; Dua Anaknya Gizi Buruk, Ibu Muda Masuk RSJ; 2.500 Balita Tangerang Kurang Gizi,” itulah deretan judul yang menghiasi pelbagai media masa di Indonesia. Judul-judul ini membuat saya miris ketika membacanya. Balita dan anak-anak yang merupakan cikal bakal kehidupan, harapan bangsa Indonesia untuk membangun negeri ini kelak, mengalami sebuah nasib yang sangat mengenaskan. Kasus gizi buruk ini ditemukan hampir di seluruh pelosok Indonesia, mulai dari daerah yang terpencil, hingga kota besar seperti Jakarta yang notabene merupakan pusat kehidupan bangsa Indonesia.

 

Saya sebagai generasi muda merasa sangat prihatin melihat kondisi anak-anak Indonesia saat ini. Mereka adalah anak-anak yang nantinya akan meneruskan perjuangan generasi sebelumnya untuk melanjutkan kepemimpinan dan perjalanan Negara Indonesia ke depannya. Mereka adalah tampuk kehidupan masa yang akan datang. Dua puluh hingga empat puluh tahun kedepan, saatnya mereka memimpin dan meneruskan perjuangan kita untuk membangun Indonesia tercinta. Tetapi, apakah mereka ada saat itu? Jika kondisi mereka saat ini saja tidak mendukung keberadaan mereka. Kehidupan dan kondisi kesehatan mereka yang jauh dari kata layak ini, seperti halnya gizi buruk, bisa mengancam kehidupan mereka. Siapakah yang nantinya akan meneruskan perjuangan dua atau tiga puluh tahun mendatang? Akankah tiba saatnya lost generation di Indonesia ?

 

Kasus gizi buruk di Indonesia menempati kasus terbanyak yang dijumpai. Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian bayi, tahun 2002/2003 terdapat 35 bayi yang meninggal di antara 1000 bayi yang dilahirkan yaitu sekitar 3,5% bayi meninggal, jika dihitung per hari ada 430 kematian bayi di Indonesia; terdapat kematian balita sebanyak 46 balita diantara 1000 balita yang lahir, jika dihitung per hari ada 566 kematian balita di Indonesia; Pada tahun 2005 jumlah anak kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta, dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus-kwasiorkor). Selama periode bulan januari-maret 2008, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) juga telah mencatat 6454 kasus gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia, diantaranya adalah Bone, Semarang, Kalimantan Tengah, Rote-Ndao (Flores NTT), Pinrang (Sulawesi Selatan), Jember, Bekasi, Trenggalek, Temanggung, Aceh, Surabaya, Tegal, Purworejo, dan Medan. Ini merupakan jumlah yang tidak sedikit. Pada tanggal 12 Desember 2008, ketua komisi IX DPR RI memberikan data di sebuah Koran online di Indonesia bahwa ada sekitar tiga puluh juta anak Indonesia menderita gizi buruk dari total anak Indonesia yang berjumlah 110 juta. Ini berarti 30% anak Indonesia telah menderita gizi buruk. Belum lagi masih begitu banyak kasus-kasus yang mengancam kehidupan anak Indonesia lainnya, seperti penyakit karena infeksi, kekerasan pada anak, bencana alam, semuanya itu dapat mengancam kehidupan anak Indonesia ke depannya. Gizi buruk sendiri sudah menjera 30% anak Indonesia dan dapat menyebabkan kematian pada anak.  Kalau pemerintah tidak juga menaikkan Anggaran dana untuk kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia, maka nasib anak Indonesia pun akan sulit untuk diubah.

 

Gizi buruk yang terjadi di Indonesia salah satunya disebabkan karena tingkat kemiskinan di Indonesia, sehingga pemenuhan gizi seimbang dan mencukupi pun sangat sulit untuk dipenuhi. Kemiskinan yang menjera sebagian besar penduduk Indonesia pun menjadi kendala bagi orang tua untuk membawa anaknya ke pusat kesehatan yang ada walaupun anaknya sudah ada tanda-tanda sakit atau mengalami gizi buruk. Faktor lain yang menyebabkan hal ini adalah tingkat pendidikan orang tua yang rendah, sehingga mereka tidak mengetahui masalah gizi buruk yang menimpa anak-anak mereka. Sebagian besar orang tua tidak memahami bagaimana pemenuhan gizi anak yang benar, sehingga mereka hanya memberikan makanan yang mampu dibeli tanpa melihat tingkat kebutuhan nutrisi bagi anak di usia pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan orang tua yang rendah pun mengakibatkan minimnya ilmu yang mereka peroleh tentang perkembangan anak maupun kondisi fisik anaknya. Ketidaktahuan mereka akan gejala-gejala penyakit dan gizi buruk pada anak mengakibatkan keterlambatan dalam penanganan dan pengobatan.

 

Di samping itu, faktor lingkungan dan budaya pun mengambil peranan dalam masalah ini. Budaya menonton televisi telah menjamur di Indonesia. Sebagian besar anak-anak menganggap bahwa televisi merupakan kebutuhan utamanya. Mata mereka terpaku terus-menerus, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam hanya di depan televisi. Semua acara mereka tonton, terutama iklan-iklan yang akan selalu disiarkan di setiap jeda suatu acara televisi. Iklan-iklan ini banyak sekali mempertontonkan aneka jenis jajanan anak-anak yang dikemas sangat sempurna. Dari segi bahasanya yang sangat persuasive hingga  gambar-gambar yang menarik, bahkan diiming-iming oleh hadiah, membuat anak-anak tergoda untuk mencicipinya. Belum lagi aneka jenis jajanan anak ini terjejer dan tergatung rapih di kios-kios pasar. Kondisi ini akan menarik perhatian anak-anak ketika mengikuti orang tuanya ke pasar. Awalnya mereka meminta agar orang tuanya membelikan mereka, jika orang tua menolak, mereka akan megeluarkan jurus merengeknya, sehingga orang tua pun merasa tidak tega dan akan membelikannya. Akhirnya, seiring dengan waktu, anak-anak terbiasa untuk memakan jajanan tersebut. Hal ini mengakibatkan anak cenderung lebih menyukai makanan kecil tersebut  dibandingkan masakan ibunya yang lebih sehat dan lebih bergizi. Kepraktisan yang dialami orangtua dengan memberikan makanan olahan pabrik ini pun membuat para orang tua lebih memilih untuk membelikan anak mereka. Selain itu, budaya Indonesia yang mulai menggeser ke arah budaya Barat telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat Inodnesia. Saat ini, gaya hidup ala orang barat lebih digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Misalnya dalam hal makanan, dimana fast food yang berasal dari negara barat lebih digemari dan telah menjadi trend makanan masyarakat sekarang. Padahal fast food sendiri merupakan makanan olahan yang tidak sehat. Tidak sedikit pula, fast food yang tidak melabelkan komposisinya sehingga tidak diketahui nutrisi yang terkandung di dalamnya. Rasanya yang enak cenderung membuat anak menjadi suka dan lebih menggemari makanan seperti ini dibandingkan makanan olahan rumah yang lebih sehat dan bergizi.

 

Budaya memberi Air Susu Ibu (ASI) yang rendah saat ini pun menjadi kendala bagi pemenuhan gizi bagi anak. Ibu-ibu sekarang merasa lebih terhormat jika membelikan anaknya susu formula. Harga susu formula yang mahal membuat mereka bangga ketika membelikan anak-anak mereka susu formula. Mereka bangga bisa disebut sebagai orang kaya yang mampu membeli susu formula dengan harga yang mahal, padahal kandungan yang ada tidaklah sebaik ASI. ASI merupakan susu yang paling sempurna untuk anak hingga usia dua tahun. Bahkan sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dan dianjurkan untuk pemberian ASI Klaustrum saat pertama kali ASI keluar. ASI ini sanagt baik, selain kandungannya yang mudah dicerna oleh bayi, dalam ASI ini terkandung banyak antibodi yang baik untuk kekebalan tubuh bayi. Kandungannya yang mampu diserap oleh tubuh bayi mencegah bayi mengalami diare. Dengan tercegahnya bayi dari diare maka tercegah pula bayi dari dehidrasi dan kematian akibat kurang gizi. Manfaat ASI yang baik ini akhirnya tidak dapat dirasakan oleh bayi jika para ibu tidak bersedia untuk memberikan ASI pada anak-anak mereka.

 

Sunggguh sebuah dilema, dimana ketika masyarakat yang tidak mampu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi anak-anaknya maupun diri sendiri, tapi di sisi lain orang-orang kaya menghambur-hamburkan uangnya dengan membeli makanan bagi anak-anaknya dengan harga mahal tapi tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang mereka. Kemudian, di sisi lain, seorang ibu mampu meninggalkan anaknya demi bekerja, padahal anak butuh kasih sayang dan perhatian mereka. Kesibukan mereka mampu mengalahkan kepentingan anaknya sampai mereka enggan untuk memberi ASI kepada anaknya hanya karena alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Ini membuat hak anak untuk mendapatkan ASI pun hilang. Hahl ini mengakibatkan anak pun menjadi kekurangan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.

 

Di sisi lain, masalah pun datang dari pemerintahan dimana masalah tidak diselesaikan dengan sebaik mungkin dan hambatan tidak segera diatasi. Manajement kesehatan Indonesia mengambil peran dalam masalah yang sangat pelik ini. Masalah yang sebenarnya telah hampir dapat teratasi dengan baik hingga tahun 2000, dimana kasus gizi buruk telah menurun menjadi 24,6%, jika dibandingkan dengan sebelumnya pada tahun 1989 kasus gizi buruk sebesar 37,5%. Hal ini dikarenakan berfungsinya posyandu dengan baik. Adanya Posyandu sebenarnya sangat membantu dalam mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia ini. Kenyataannya kasus gizi buruk meningkat kembali di tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2005 dijumpai 29% kasus gizi buruk. Peningkatan kembali kasus gizi buruk ini diikuti dengan peran posyandu yang perlahan mulai hilang, tinggal 40% dari kurang lebih 250.000 posyandu yang masih aktif saat ini. Perlu pembenahan manajement kesehatan kembali agar lebih baik dalam mengatasi masalah kesehatan di Indonesia. Data lain mengatakan bahwa Dari segi biaya kesehatan, minimnya anggaran kesehatan menyebabkan masyarakat miskin hanya bisa pasrah apabila sakit, rasanya enggan untuk pergi ke dokter atau rumah sakit, biaya untuk makan saja sangat sulit untuk dipenuhi, apalagi harus pergi berobat yang artinya mereka harus mengeluarkan uang yang besar sekali, bahkan lebih besar dari biaya makan mereka. Anak-anak pun menjadi tumbalnya, mereka yang masih relatif rentan dan belum baik sistem pertahanan tubuhnya ditambah lagi dengan pemenuhan nutrisi yang sangat minim, akan mudah terserang suatu penyakit. Pertolongan yang telat pada anak pun akhirnya bisa mengakibatkan kematian.

 

Kondisi ini seharusnya tidak akan terjadi bila tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia sudah baik. Anak-anak selayaknya mendapat perhatian yang cukup terutama dalam pemenuhan gizinya, sehingga diharapkan dengan nutrisi yang baik akan menciptakan anak-anak dengan kualitas prima untuk dapat melanjutkan kehidupan bangsa ini. Para orang tua yang secara fisik maupun psikis merupakan orang yang paling dekat dengan anak sangat diperlukan peranannya dalam menjaga dan memberikan perhatian lebih. Apabila Indonesia ingin menjadi Negara yang maju, maka anak-anaknya pun harus maju dan sehat. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat segera menyelesaikan pekerjaan rumah dalam pengentasan kemiskinan juga dalam  meningkatkan anggaran untuk kesehatan anak-anak di Indonesia. Selain pemerintah, peran lingkungan masyarakat mutlak diperlukan, terutama praktisi kesehatan. Pemberian penyuluhan dan pendidikan akan pentingnya gizi untuk anak-anak setidaknya dapat membuka pengetahuan orang tua khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memantau perkembangan anak. Pemenuhan gizi seimbang dan pola asuh yang baik harus diterapkan oleh para orang tua. Komunikasi Informasi dan Edukasi akan gizi anak yang baik harus disosialisasikan ke masyarakat luas agar masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan bisa menerapkannya di kehidupan. Pemberian makanan sesuai standar gizi di usia pertumbuhan dan perkembangan anak jika perlu digalakkan besar-besaran untuk keluarga yang tidak mampu. Anggaran untuk pendidikan pun sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin agar seluruh anak-anak Indonesia yang tidak mampu, bisa tetap mengenyam pendidikan. Bukan hanya wajib belajar sembilan tahun lagi, tetapi diharapkan dapat menjadi wajib belajar dua belas tahun, sehingga dalam beberapa dasawarsa kedepan anak Indonesia semuanya terpelajar. Bila semua upaya tersebut dapat direalisasikan, maka saya optimis, anak-anak Indonesia menjadi anak yang sehat, pandai dan sejahtera serta mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih berkualitas. Marilah kita perbaiki hidup anak-anak Indonesia untuk kehidupan bangsa Indonesia yang akan datang menjadi lebih baik.

2 comments: