“Tiga Balita Menderita Gizi Buruk di Depok; Ditinggal Ibu Kawin Lagi, Komar Alami Gizi Buruk; Korban Tewas Gizi Buruk di NTT Sembilan Orang; Gizi Buruk Meningkat, Sumba Ambil Langkah Darurat; Enam Balita Penderita Gizi Buruk Meninggal Dunia; 30% Balita di Indonesia Gizi Buruk; 2.068 Balita di Surabaya Derita Gizi Buruk; 2 Anak Gizi Buruk di Bogor Terima Jamkesmas; Dua Anaknya Gizi Buruk, Ibu Muda Masuk RSJ; 2.500 Balita Tangerang Kurang Gizi,” itulah deretan judul yang menghiasi pelbagai media masa di Indonesia. Judul-judul ini membuat saya miris ketika membacanya. Balita dan anak-anak yang merupakan cikal bakal kehidupan, harapan bangsa
Saya sebagai generasi muda merasa sangat prihatin melihat kondisi anak-anak
Kasus gizi buruk di
Gizi buruk yang terjadi di
Di samping itu, faktor lingkungan dan budaya pun mengambil peranan dalam masalah ini. Budaya menonton televisi telah menjamur di Indonesia. Sebagian besar anak-anak menganggap bahwa televisi merupakan kebutuhan utamanya. Mata mereka terpaku terus-menerus, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam hanya di depan televisi. Semua acara mereka tonton, terutama iklan-iklan yang akan selalu disiarkan di setiap jeda suatu acara televisi. Iklan-iklan ini banyak sekali mempertontonkan aneka jenis jajanan anak-anak yang dikemas sangat sempurna. Dari segi bahasanya yang sangat persuasive hingga gambar-gambar yang menarik, bahkan diiming-iming oleh hadiah, membuat anak-anak tergoda untuk mencicipinya. Belum lagi aneka jenis jajanan anak ini terjejer dan tergatung rapih di kios-kios pasar. Kondisi ini akan menarik perhatian anak-anak ketika mengikuti orang tuanya ke pasar. Awalnya mereka meminta agar orang tuanya membelikan mereka, jika orang tua menolak, mereka akan megeluarkan jurus merengeknya, sehingga orang tua pun merasa tidak tega dan akan membelikannya. Akhirnya, seiring dengan waktu, anak-anak terbiasa untuk memakan jajanan tersebut. Hal ini mengakibatkan anak cenderung lebih menyukai makanan kecil tersebut dibandingkan masakan ibunya yang lebih sehat dan lebih bergizi. Kepraktisan yang dialami orangtua dengan memberikan makanan olahan pabrik ini pun membuat para orang tua lebih memilih untuk membelikan anak mereka. Selain itu, budaya Indonesia yang mulai menggeser ke arah budaya Barat telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat Inodnesia. Saat ini,
Budaya memberi Air Susu Ibu (ASI) yang rendah saat ini pun menjadi kendala bagi pemenuhan gizi bagi anak. Ibu-ibu sekarang merasa lebih terhormat jika membelikan anaknya susu formula. Harga susu formula yang mahal membuat mereka bangga ketika membelikan anak-anak mereka susu formula. Mereka bangga bisa disebut sebagai orang kaya yang mampu membeli susu formula dengan harga yang mahal, padahal kandungan yang ada tidaklah sebaik ASI. ASI merupakan susu yang paling sempurna untuk anak hingga usia dua tahun. Bahkan sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dan dianjurkan untuk pemberian ASI Klaustrum saat pertama kali ASI keluar. ASI ini sanagt baik, selain kandungannya yang mudah dicerna oleh bayi, dalam ASI ini terkandung banyak antibodi yang baik untuk kekebalan tubuh bayi. Kandungannya yang mampu diserap oleh tubuh bayi mencegah bayi mengalami diare. Dengan tercegahnya bayi dari diare maka tercegah pula bayi dari dehidrasi dan kematian akibat kurang gizi. Manfaat ASI yang baik ini akhirnya tidak dapat dirasakan oleh bayi jika para ibu tidak bersedia untuk memberikan ASI pada anak-anak mereka.
Sunggguh sebuah dilema, dimana ketika masyarakat yang tidak mampu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi anak-anaknya maupun diri sendiri, tapi di sisi lain orang-orang kaya menghambur-hamburkan uangnya dengan membeli makanan bagi anak-anaknya dengan harga mahal tapi tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang mereka. Kemudian, di sisi lain, seorang ibu mampu meninggalkan anaknya demi bekerja, padahal anak butuh kasih sayang dan perhatian mereka. Kesibukan mereka mampu mengalahkan kepentingan anaknya sampai mereka enggan untuk memberi ASI kepada anaknya hanya karena alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Ini membuat hak anak untuk mendapatkan ASI pun hilang. Hahl ini mengakibatkan anak pun menjadi kekurangan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Di sisi lain, masalah pun datang dari pemerintahan dimana masalah tidak diselesaikan dengan sebaik mungkin dan hambatan tidak segera diatasi. Manajement kesehatan Indonesia mengambil peran dalam masalah yang sangat pelik ini. Masalah yang sebenarnya telah hampir dapat teratasi dengan baik hingga tahun 2000, dimana kasus gizi buruk telah menurun menjadi 24,6%, jika dibandingkan dengan sebelumnya pada tahun 1989 kasus gizi buruk sebesar 37,5%. Hal ini dikarenakan berfungsinya posyandu dengan baik. Adanya Posyandu sebenarnya sangat membantu dalam mengatasi masalah gizi buruk di
Kondisi ini seharusnya tidak akan terjadi bila tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia sudah baik. Anak-anak selayaknya mendapat perhatian yang cukup terutama dalam pemenuhan gizinya, sehingga diharapkan dengan nutrisi yang baik akan menciptakan anak-anak dengan kualitas prima untuk dapat melanjutkan kehidupan bangsa ini. Para orang tua yang secara fisik maupun psikis merupakan orang yang paling dekat dengan anak sangat diperlukan peranannya dalam menjaga dan memberikan perhatian lebih. Apabila Indonesia ingin menjadi Negara yang maju, maka anak-anaknya pun harus maju dan sehat. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat segera menyelesaikan pekerjaan rumah dalam pengentasan kemiskinan juga dalam meningkatkan anggaran untuk kesehatan anak-anak di Indonesia. Selain pemerintah, peran lingkungan masyarakat mutlak diperlukan, terutama praktisi kesehatan. Pemberian penyuluhan dan pendidikan akan pentingnya gizi untuk anak-anak setidaknya dapat membuka pengetahuan orang tua khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memantau perkembangan anak. Pemenuhan gizi seimbang dan pola asuh yang baik harus diterapkan oleh para orang tua. Komunikasi Informasi dan Edukasi akan gizi anak yang baik harus disosialisasikan ke masyarakat luas agar masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan bisa menerapkannya di kehidupan. Pemberian makanan sesuai standar gizi di usia pertumbuhan dan perkembangan anak jika perlu digalakkan besar-besaran untuk keluarga yang tidak mampu. Anggaran untuk pendidikan pun sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin agar seluruh anak-anak Indonesia yang tidak mampu, bisa tetap mengenyam pendidikan. Bukan hanya wajib belajar sembilan tahun lagi, tetapi diharapkan dapat menjadi wajib belajar dua belas tahun, sehingga dalam beberapa dasawarsa kedepan anak Indonesia semuanya terpelajar. Bila semua upaya tersebut dapat direalisasikan, maka saya optimis, anak-anak Indonesia menjadi anak yang sehat, pandai dan sejahtera serta mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih berkualitas. Marilah kita perbaiki hidup anak-anak Indonesia untuk kehidupan bangsa Indonesia yang akan datang menjadi lebih baik.
Iya ni..gisi buruk..buncit nyampe perutnya..C#
ReplyDeletehehe..masa kakinya yang buncit.. ^^
ReplyDelete