Friday, November 4, 2011

Hari Kelima di Puskesmas: “Susahnya Merujuk”

Yang menjadi do’a sehari-hariku selama di sini adalah, semoga tidak mendapatkan pasien yang aneh-aneh yang mengharuskan untuk merujuk. Setidaknya, kalaupun ngerujuk yang pasti-pasti aja deh.

Tanya kenapa?

Soalnya, kalo ngerujuk dari puskesmas halmahera pilihannya hanya RS kota, RS tugu, dan RS Kariadi. Dan alurnya mestinya dari puskesmas ke RSUD dulu yaitu RS kota dan RS tugu baru ke RS Kariadi. RS Kota minta ampun kalau urusan rujuk merujuk, susah banget, sering banget nolak dengan alasan penuh. Saya jadi bertanya, masih boleh ya rumah sakit menolak pasien? Bahkan mereka pun sering merujuk ke RS Kariadi dengan alesan yang tidak masuk akal, selain penuh, mati lampu pun bisa jadi alasan untuk mereka. Kalau RS tugu, tidak menjadi pilihan dulu, karena daerahnya yang jauh sekali, kasian pasiennya juga yang notabene mereka adalah penduduk sekitar saja. Mentok-mentok, RS Kariadilah yang akhirnya menjadi pilihan dalam merujuk. Tapi, hal ini bisa menjadi senjata makan tuan untuk kami, koas yang mengabari dan datang merujuk ke sana.

Kalau yang nerima residen yang hatinya agak keras, maka merujuk itu tak semudah memindahkan pasien dan membawa surat-surat saja. Tapi, benar-benar harus punya landasan yang kuat dalam merujuk, kami pasti akan ditanya-tanya dan ditodong habis-habisan kalau sampai ternyata pasien ini seharusnya tidak perlu dirujuk. Bahkan bisa-bisa kita akan diingat terus kemudian akan timbul pertanyaan dari mereka, “kamu mau ujian dengan siapa, dek?” itu artinya kita melakukan kesalahan yang tak termaafkan yang hukumannya adalah penguji susah untuk ujian akhir kami di stase ini. Yang menerima pasien di UGD adalah residen jaga satu, residen paling senior, yang punya hak besar di sini. Mudah saja bagi mereka untuk bilang, dia ujian sama dr. X, atau dr. Y.. yah begitulah.. Strata masih terasa sekali di sini, walau katanya sudah lebih membaik dari jaman dahulu kala.

Biasanya yang bisa membuat keraguan dalam merujuk adalah kasus KPD (Ketuban Pecah Dini) belum inpartu. Seperti kemarin, hari kelima saya di puskesmas ini. Datang seorang pasien memeriksakan diri di BKAI puskesmas. Saya pikir, periksa rutin tiap bulan. Kemudian, saya lihat ternyata pasiennya baru datang beberapa hari yang lalu, saya tanyakan apa keluhannya sambil saya periksa seperti biasa. Jadilah, saya tau kalau pasien ini sudah kenceng-kenceng dan keluar air sejak jam 02.00. Saya tanya lagi, saya pastikan betul bahwa itu air ketuban, “basah terus-terusan? Walaupun tidak pengen pipis?” “iya” “kentel apa g?” “nggak, encer gitu” “kalau pas tidur gitu, tiba-tiba celana dalamnya basah?” “iya, pokoknya basah terus celana dalamnya”. Kalau seperti itu, langsunglah dibawa ke rumah bersalin (RB).

Setelah sampai di RB, kami lakukan pemeriksaan dalam terhadap pasien ini. Saya dapatkan bahwa belum ada pembukaan, portio kuncup, medium posterior, bagian bawah kepala turun hodge 1. Saya pun tak merasakan air yang mengalir. Hanya lendir. Darah pun tak ada. Saya cek celana dalamnya memang basah, tapi saya ragu ini basah lendir apa air. Sewaktu saya tanya, “kentel-kentel gitu ga, seperti lendir?” ibunya menggeleng. Kemudian, ditambahin dengan bidan muda nya, “air kuning gitu og mba,” sambil melihat celana dalamnya. Hm.. saya kembali ragu, benarkah itu kuning dari air ketuban ataukah memang celana dalamnya yang sudah kuning dari awalnya? Bodohnya saya, tidak saya tanyakan lagi ke pasien. Saya lebih memilih diam dan mengikuti alur. Sedangkan, pemeriksaan dalam ini pun memang subjektif penilaiannya. Setelah dicek dengan bidan muda yang masih magang, dia juga setuju kalau belum buka. Setelah itu, ditelpon lah bidan senior yang kebetulan sedang menjalankan tugas PIN di luar. Kata beliau, “tunggu saya.”

Lumayan lama kami menunggu, satu jam, kemudian, datang bidan lain yang pun senior untuk kembali memeriksa. Langsung dia masukkan jarinya, kemudian berujar, “buka satu jari sempit, KK negatif.” He? Dalam hati saya bertanya-tanya, benarkah? Semudah itukah menilai KK pada satu jari sempit. Mungkin beliau memang ahli, pikirku. Tapi, tetap saja saya ragu, ingin rasanya saya memasukkan kembali 2 jari saya lagi untuk meyakinkan, tapi, tidak etis, tadi saya sudah memeriksanya bukan. Mungkin memang sudah ada kemajuan dalam pembukaannya. Tapi, benarkah KK negatif? Ingin rasanya melakmus pasien ini, tapi ternyata puskesmas ini tak memilikinya. Saya pikir puskesmas harusnya menyediakan kertas lakmus. Itu kan pemeriksaan sederhana sekali. Agar penegakan diagnosa untuk KPD bisa lebih baik lagi. Hehe..

Kemudian, beliau langsung berujar, rujuk saja, “ayo mba koas, telpon untuk dirujuk.” Teman saya yang menelpon. Dia memang ingin sekali menelpon RS kota dan ingin tau penerimaan RS ini. Beberapa hari yang lalu kami pun merujuk pasien ke RS kota, pasien inpartu dengan grande multigravida dan usia tua. Aku yang menelpon dan mereka berkata, telpon lagi setengah jam lagi. Ngeeeek.. ini pasien inpartu. Kalau brojol di sini terus ada komplikasi apa-apa siapa yang mau tanggung jawab. Jujur saya pun baru tau waktu itu kalo grande multigravida dan usia tua itu termasuk kehamilan yang harus dirujuk. Kalau kasus seperti ini kan jelas memang aturan protap di puskesmas ini seperti itu. Dan mendapatkan diagnosis grande multigravida dan usia tua itu kan jelas sekali dari anamnesis. Lah ini, KPD, tidak cukup hanya mengetahui dari anamnesis saja, keluar air dari jalan lahir lalu kita diagnosa KPD. Harus pertimbangkan dari pemeriksaan-pemeriksaan lain bukan. Selain dari pemeriksaan dalam, mesti nya ditegakkan dengan lakmus tes. Tapi apa boleh buat di sini tak ada.

Benar saja, RS kota menolak karena penuh. Jadilah teman saya menelpon RS Kariadi. Alhamdulillah diterima dengan baik. Diutuslah saya untuk ke sana naik ambulan puskesmas. Ternyata, bukan hanya saya dan pasien yang ikut. Serombongan ibu-iibu pegawai puskesmas lain pun ikut. Hm, bau-bau tidak enak nih, ucapku dalam hati. Benar saja, ternyata mereka itu rombongan yang akan membesuk salah satu pegawai yang sedang sakit. Kemudian di perjalanan tibalah pada pembicaraan, “mba koasnya  naik apa ntar pulangnya?” aku diam. Kemudian yang lain menyahut, “naik angkot aja, ngerti to jalurnya?” aku masih diam. “ntar naik johar sampangan.. bla..bla..” aku tidak begitu mendengarkan, aku hanya diam. Aku disuruh merujuk sendirian udah gitu mau ditinggal. Hm... baik sekali sekali mereka padaku. Dan saat itu, cuaca hitam kelam. Mendung. Dan akhirnya ada yang berujar, “mba koasnya naik apa waktu itu ke puskesmas?” “motor. Tau gitu saya naik motor aja bu” ujarku. “yaudah, gpapa kan mau hujan juga, enak naik angkot.” Hanya kukasih senyuman.

Sesampainya di UGD, kulihat wajah-wajah sumringah menyambutku, hehe. Bu A dan pak I. Alhamdulillah, hati mereka lembut, jadi tak mempermasalahkan perihal rujukanku yang tak jelas ini. Hehe. Malah ditanyain, “mana satenya?” ternyata di halmahera ada sate ayam yang enak. Aku tak tau. Udah gitu ditanya lagi, “kamu naik apa?” “ambulan, pak. Tapi ditinggal.” “haha.. ditinggal? Yauda to, jalan-jalan dulu aja kalo gitu g usah langsung balik, orang kamu ditinggal juga, berarti g disuruh balik, ke mall dulu aja.” Haha.. saya suka itu! Iya nih pak pengen pulang ke kos dulu rasanya. Ujarku dalam hati.

Saya bantuin residennya meriksa-meriksa, saya tungguin sampai pemeriksaan selesai. Sebelum diperiksa saya ditanya hasil pemeriksaan di puskesmas, dan saya jawab saja sesuai pemeriksaan saya dan saya tambahin hasil yang menurut bidannya. Selain itu ditanyain juga udah dikasih apa? Apakah udah dikasih antibiotik? Saya jawab saja belum, karena saya juga ragu mau ngasih eritromisin di puskesmas, lagi pula eritromisin pun tidak ada sepertinya, walaupun belum saya tanyakan.

Setelah selesai diperiksa, ternyata menurut residennya belum ada pembukaan dan portionya masih kuncup di posterior. Udah gitu, lakmus tes negatif. Aku udah was-was aja kalau-kalau ditanya. Kebetulan jam pergantian jaga, maka yang jaga datang, dan residen jaga satu nya baik bener. Tidak mempermasalahkan sama sekali, bahkan cenderung berhati-hati, tetep dibawa ke belakang untuk dievaluasi lagi, diperiksa USG dan inspekulo untuk melihat air yang mengalirnya.

Hooo.. kemudian, saya pun pamit pulang setelah urusan surat menyurat selesai. Dan ternyata hujan deras sekali menimpa semarang. Gimana ceritanya saya pulang kekosan? Gimana ceritanya saya naik angkot? Sudahlah, telpon taksi saja kalau begitu. Sambil mengehela napas panjaaaaang... saya pun berlalu. Harus banyak-banyak istighfar, terus belajar untuk tetep bisa sabar dan ikhlas. Di sepanjang perjalanan, saya ngobrol dengan bapak supir taksinya. Ternyata hujan tadi besar sekali, simpang lima dan sekitarnya banjir, saya pun rutenya diputar. Dan petir menggelegar katanya. Sepanjang perjalanan saya lihat, banyak pohon tumbang di jalanan. Subhanallah. Allahumma shoyyiban nafi’an. 

2 comments:

  1. iya.. mesti sabar..
    kalo g gini, jadi gatau gimana kalo ngerujuk..
    emang harus dijalani dengan ikhlas... namanya juga belajar..

    kamu juga yang sabar ya hay... :)

    ReplyDelete