Wednesday, November 2, 2011

Hari Ketiga di Puskesmas: Menolong Persalinan

Kemarin, aku tidak ke poli untuk ANC, karena ada pasien inpartu yang harus ditungguin di Rumah bersalin yang hanya berjarak tak sampai 20 meter dari puskesmas tempatku belajar minggu ini. Teman saya ke poli, sedang saya stand by di rumah bersalin puskesmas ini. Pasien tersebut tidak sabar dan pada akhirnya meminta untuk pindah ke rumah sakit karena minta dipacu. Setelah diedukasi berkali-kali tapi tidak juga bisa paham, bahwa ibu nya masih dalam kondisi normal dan tak perlu untuk dipacu, lagi pula di sini tak bisa melayani tindakan pemacuan. Sudah berulang kali mereka meminta dan berulang kali juga saya menjelaskan. Sampai akhirnya, dengan keinginan sendiri mereka meminta pindah. Maka, kami hormati permintaan mereka dengan sebelumnya memastikan rumah sakit yang ingin mereka jadikan tempat bersalin masih ada tempat dan juga tanda tangan penolakan tindakan.

Tidak berapa lama pasien ini pergi. Hwooo.. datang pasien inpartu, kenceng-kenceng sering, keluar lendir dan darah, air ketuban belum keluar, gerak janin masih dirasakan. Dari hasil pemeriksaan didapatkan  tekanan darah 110/70, TFU 33 cm, DJJ 11-11-12, His 4’-5’ (40”), leopold I-IV: janin 1 intra uterin, presentasi kepala U puka, pemeriksaan dalam (VT): pembukaan 5, KK (+), eff. 75%, bagian bawah turun di Hodge II, UUK kiri. Sebelumnya pernah melahirkan anak dengan berat 3000 gr. Inpartu kala I, sikapku tunggu adn evaluasi 4 jam. Perkiraan jam 16.00 akan diperiksa lagi. Bidan-bidan yang jaga plus pembantu-pembantu bidannya pamit dulu, mau menjenguk salah seorang pemabntu bidan yang sedang sakit. Tinggalah para koasnya berdua, dan diutus seorang bidan muda yang jaga di poli KIA. Dia mengaku belum pernah partus di sini. Dalam hati, saya berpikir, belum pernah di sini tapi udah sering di rumahnya mungkin atau dimana. Masih tenang aja, lagi pula, saya pikir pembantu bidan masih ada yang nemenin kami.

Waktu berjalan satu jam. Pasien semakin tidak tenang, 2 kali sudah kami dipanggil keluarganya karena pasien ingin ngising. Sebelumnya memang kami katakan pada ibunya, “kalau meh ngising, panggil kami”. Panggilan meh ngising, kami langsung periksa dalam, masih belum lengkap tapi pembukaannya nambah langsung 8-9 tinggal menyisakan sedikit lip tipis di jam 9 dan 12. Pasien, semakin kesakitan dan tak sabaran, dengan seenaknya mengejan sekencang tenaga. Berulang kali kami bilang, “tidak boleh ngeden!! Pembukaan belum lengkap, kasian bayinya, bisa stress di dalam, jalan lahirnya juga bahaya bisa bengkak atau kalau dipaksa bisa robek, dan ibu bisa kelelahan justru disaat waktunya ngeden setelah pembukaan lengkap.” Tapi, namanya ibu-ibu yang tidak kooperatif, yah dia hanya satu diantara banyak ibu-ibu yang tidak mau dibilangin. Memang, dalam keadaan seperti itu mungkin dia pun sudah tak mampu berpikir. Yang ada hanya rasa sakit luar biasa. Sudah sering sering saya dimarahin pasien setiap kali saya bilang ke mereka untuk sabar menahan sakitnya, tarik napas yang dalam, dan tidak boleh ngeden. Tapi, justru saya yang kena batunya.

Melihat kelakuan ibunya yang memaksa untuk ngeden sekuat tenaga, saya coba periksa lagi sudah sejauh mana kemajuannya. Ternyata, pembukaan lengkap sudah, jam 13.00, satu jam saja. Saya langsung ambil sikap, sebuah keputusan yang benar-benar saya pertimbangkan sendiri, walau bagaimanapun tetap saya katakan ke bu bidan muda tersebut, “lengkap, saya pecahkan Kknya ya?” saya langsung ambil kroker, tak ada yang mengasistenin, bu bidannya pun sibuk mencarikan duk untuk stanen dan bayinya. Teman saya, masih solat. Benar-benar riweh sekali. Sangat tidak terduga akan secepat ini. Kemudia, KK pecah, air ketuban jernih, jumlah cukup, bau khas. Saya pimpin mengejan saat ada his, bahkan saat sudah kroning, belum juga datang kain untuk stanen dan bayi, sampai didetik-detik terakhir, teman saya menemukan kainnya dan mba bidan membantu untuk stanen, dan menarik bahu depan yang sedikit kesulitan. Alhamdulillah, keluar dengan selamat, tapi bayi tidak menangis, aku megap-megap sudah, ayo nangis dek, ayo nangis. Sambil mengklem tali pusatnya dan dipotong. Bayi tetap tidak menangis. Sambil menyiapkan oksitosin, saya usap bayi, saya bersihkan, masih tidak menangis. Mana suction, tak ada di sini! Huhuhu. Saya terus berdo’a dalam hati, “ayo menangis, dek, ayo menangis” Bayi diambil alih teman saya, dan saya lakukan menejemen aktif kala III. Tali pusat keluar dengan lancar, sampai akhirnya plasenta keluar, tapi setelah diputer-puter, kulit plasenta ujungnya tidak mau keluar, saya masase dorsokranial, saya bantu dengan klem untuk memutar-mutar kulit plasentanya, ada 10 menit akhirnya dengan hati-hati dan pelan-pelan, tetep menenangkan diri walaupunsempat panik, kulit plasenta pun keluar lengkap. Ditengah-tengah menejemen aktif kala tiga, saya mendengar tangisan bayi ini, dan saya langsung berucap syukur Alhamdulillah, bahagia tak terperi sekali rasanya.

Tanggal 1/11/11 jam 13.20 lahir bayi perempuan, dengan berat badan lahir 3200, panjang badan 47 cm, dan Apgar score 8-9-10. Alhamdulillah. Plasenta lahir lengkap, eksplorasi: laserasi grade 1, tidak dijahit, karena ibu menolak, dan perdarahan (-). Alhamdulillah.

“ibu, anaknya perempuan, beratnya 3200, seneng to bu?”

“maaf ya mba, jadi bikin mba nya berdarah-darah gitu”

“gpapa, bu. Santai saja.”

Kemudian, aku dan mba bidan muda itu saling menatap, tanda kelegaan dalam diri masing-masing. Kemudian, mba bidan tertawa dan berujar,

“mba nya cemong darah!”

“he?”

Segera kucuci mukaku. Kemudian, kembali menulis-nulis, melengkapi surat-surat dan partograf. Suntik vit.K dan beri salep mata. Kembali membedong bayi dan meletakkan di inkubator. Sedikit do’a kupanjatkan untuk bayi kecil ini. Sebelum saya harus mencuci jas coass yang terkena sedikit darah.

Menjelang sore, suami dari pasien ini baru datang, kemudian beliau berkata padaku, “mba, sebelumnya saya mau bilang terima kasih sudah menolong istri saya.”

Jleb, hati saya semakin berdarah-darah dikatakan seperti itu. Saya tersenyum, “sama-sama, pak..”
Pasien ini justru telah mengajarkan dan memberikan pengalaman banyak kepada saya. Saya yang memulai dan saya yang harus mengakhiri. Itulah yang saya rasakan kemarin. Sebelum-sebelumnya, saat stanen saya tidak meyakinkan, bidan-bidan senior itu akan langsung mengambil alih mengeluarkan kepalanya, baru diserahkan ke saya. Sebelumnya, saat saya tampak gagu dan ragu menarik bayi, maka bidan-bidan senior langsung mengambil alih dan baru memberikan setelah bahu keluar. Sebelumnya, saat menejemen aktif kala tiga saya sempet mengalami kesulitan, maka residen akan turun dan mengambil alih. Sebelumnya, saya tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan. Sebelumnya, saya hanya dipersilakan untuk melakukan dan selalu siap untuk diambil alih bila ada yang melenceng sedikit saja. Dan sekarang, tak ada residen dan bidan-bidan senior yang siap sedia mengambil alih kalo saya salah. Yang ada hanya Allah, tempatku berserah dan berharap agar aku dapat menjalankan sesuai protap tanpa melakukan kesalahan agar persalinan berjalan lancar.

Pagi ini, mereka telah diperbolehkan pulang.

Inilah sebuah rasa kebahagian dan kepuasan tersendiri dalam menolong. Mungkin rasa seperti ini lah yang saya cari saat saya memutuskan fakultas kedokteran sebagai pilihanku saat SPMB.

5 comments:

  1. hehe.. maksdnya apa bu dokter? duknya yang warisan apa tekniknya? hehe..
    kalau duknya... tidak setua itu bu...
    bu, obsgyn benar-benar melelahkan ya..
    dulu ibu ambil SpOG dimana? suasana belajarnya menyenangkan tidak di sana?

    ReplyDelete
  2. bukan barangnya, tapi istilahnya. Duk ...itu kan bahasa belanda. Demikian juga stanen ... menahan perineum kan, maksudnya. Pewarisnya ya ibu-ibu bidan yang sudah sepuh2 itu. Para dokter juga. Yang juga warisan Belanda adalah istilah VK untuk kamar bersalin...dan banyak lagi. Obsgin memang melelahkan, dan terutama karena jamnya yang tidak menentu. Tapi demi menjaga aurat kaum perempuan, tak ada salahnya kita berkorban. Saya dulu dari UNAIR

    ReplyDelete