Wednesday, May 13, 2009

Anak-anak! Itulah Mereka..

Kamis sore lalu, saya diajak seorang teman untuk menemaninya mengajar ngaji di sebuah rumah penduduk. Kurang lebih ada 12 anak yang belajar mengaji di tempat ini. Anak-anak yang lugu dan penuh kebahagiaan. Ada yang sudah lumayan besar bahkan ada yang masih kecil. Anak terkecil yang saya jumpai baru berumur 3 tahun. Subhanallah, saya takjub dengan orang tuanya karena sudah mengajak anaknya untuk belajar ngaji diumur semuda itu. Setidaknya anak ini sudah diajak untuk berada dilingkungan yang baik sejak dini.

 

Ketika saya tiba, rasanya agak gimana gitu..terasa asing! Lah iya, kan ini kali pertama saya  ke sana. Lama-lama perasaan ini berubah menjadi perasaan senang. Saya senang, karena mereka terlihat lebih nurut dan manis-manis tingkahnya. Itu awal perjumpaan. Kami ucapkan salam kepada mereka yang sudah menunggu kami, lalu di buka dengan membaca do’a dan AlFatihah. Selanjutnya adalah materi yang diberikan teman saya. Di sini begitu rapih, semua anak-anak  menulis apa yang diberikan, walau hanya sedikit ilmu yang disampaikan, mereka tetap semangat untuk mendengar dan mencatat. Andaikan di Alkautsar pun seperti ini. Sekarang tibalah waktu untuk mengaji.

 

Pertama seorang anak laki-laki, sebut saja bebe, tampaknya ini pertama kali dia mengaji, masih iqra jilid 1 dan belum mendapatkan buku bimbingan. Saya senang berinteraksi dengan anak kecil, mereka sangat polos dan kreatif. Kreatif? Yah..kreatif dengan segala tingkahnya yang baru, bahkan mungkin mereka tidak mengerti apakah yang dilakukannya salah atau benar. Teman-temannya yang lain ikut nimbrung dan merusuhkan Bebe belajar mengaji, mereka selalu mengucapkan huruf-huruf arab itu sebelum Bebe berhasil mengucapkan, lalu mereka saling dorong-dorongan, cubit-cubitan, bahkan saya pun dicubitnya. Anak-anak, ada saja tingkahnya yang menggemaskan. Tapi, kesel juga tingkah mereka ini membuat mengaji jadi tidak konsen. Mereka tidak mau diberi tahu, dengan kata-kata manis, bahkan dibuat selembut mungkin, supaya mereka mau diam, tapi tetap saja mereka bercengkrama dan membuat keributan. Sampai akhirnya, si Bebe yang sedang mengaji ini pun ikut meladeni ajakan main temannya, dengan ikut cubit-cubitan dan dorong-dorongan. Tiba-tiba terdengar suara tangisan. (”waduh ada yang menjadi korban ternyata”, hati saya spontan berujar). Ada apa ini, anak-anak yang sangat kreatif sampe-sampe menyakiti temannya. Hah, pusing saya, spontan saya diamkan anak yang menangis itu dengan sikap lemah lembut dan penuh kasih sayang (halah!). Kupeluk anak ini. Yes! Akhirnya dia mau diam dan tidak menangis lagi. Lalu waktunya untuk mendamaikan mereka, agar saling minta maaf. Awalnya dengan kepolosan mereka, mereka gda yang mau, yang satu merasa tidak bersalah, dan yang satu merasa sangat tersakiti. Tapi, akhirnya mereka mau memaafkan. Alhamdulillah, satu urusan teratasi.

 

Satu anak saja sudah menghabiskan waktu yang lama. Ada acara nangis dan marahannya dulu sih. Kemudian, dimulai lagi mengajinya, kali ini giliran anak yang menangis tadi, sebut saja dengan Cece. Ternyata sama saja, teman-teman yang lainnya ikut mengumpul dan saling merecoki, sampai akhirnya si anak yang mengaji ini, kesel dan menyiku temannya, mungkin maksud hati hanya ingin menyuruh temannya untuk diam, tapi ternyata berdampak lain. Si anak yang disikuin ini, sebut saja Dede, awalnya biasa saja. Saya terusin mengajar ngajinya. Lalu, makin lama dia merintih kesakitan, tidak tega saya melihatnya. Kali ini sepertinya benar-benar parah, tampak dari raut wajahnya itu. Tidak seperti anak yang menangis tadi, si Cece, yang menangis tapi lebih terkesan manjanya. Anak yang ini benar-benar terlihat rintihannya. Saya bingung, tapi saya tidak tega. Ternyata ada kakaknya juga. Dan hanya bisa terucap sebuah kalimat perintah dari kami, ”dibawa pulang aja, dek.” Habis kami pun bingung harus seperti apa lagi, dan menurut kami itulah solusi yang paling bagus karena orang tuanya pasti akan lebih bijak dalam menindaklanjuti keadaan anak ini. Tapi, tidak segampang itu, si Cece ini tidak mau pulang, dia takut sama orang tuanya, takut dimarahi, katanya. Loh, ko bisa? Orang tua malah marah melihat anaknya sakit. Wajar sih, saya pun suka dimarahi kalau sakit, karena itu artinya saya tidak hati-hati, tidak nurut dan tidak mau menjaga kesehatan. Padahal kan saya juga tidak mau sakit. Begitu juga dengan anak ini. Hm, susah emang, pengen rasanya sekalian belajar mendiagnosa, kenapa anak ini bisa sampai sakit segitunya, padalah hanya di siku oleh temannya.

 

Usut punya usut, ternyata anak ini dulunya juga punya riwayat jatuh dan dadanya pun terkena, sampai sesak. Sudah di bawa ke dokter, tapi kata dokter tidak apa.  Anak ini hanya diberi obat, ujar kakaknya ini. Ketika menanyakan ke anaknya, apa yang dirasa, si anak hanya mengatakan ”sakit...sakit...aduh...huhuhu...” Hm, anak kecil, sulit sekali menganamnesa dirimu. Lagian saya sebenarnya juga belum punya ilmu untuk menganamnesa dan mendiagnosa, hanya pengen belajar. Saya benar-benar tidak tega, sepertinya ada sesuatu di dadanya. Saya menyuruhnya untuk tiduran aja dengan tenang, walau anak ini suka tidak mau nurut, malah duduk lagi dan melanjutkan menangisnya. Lalu, biar tidak sesak, kancing bajunya dibuka, tapi anak ini tidak mau, dikancingkan kembali bajunya itu. Oh, sulit sekali menangani anak kecil. lalu, saya mencoba memegang dadanya, siapa tahu ada yang aneh dengan dadanya, sepertinya  tidak. Teman saya pun tidak menemukan sesuatu yang aneh. Saya penasaran, saya pegang lagi dadanya ini, mempalpasi lebih baik lagi, saya merasakan ada cekungan yang aneh pada dada anak ini. Ntah ini fisiologis atau patologis. Ilmu saya belum nyampe ke tahap ini. Ilmu saya masih sangat sedikit. Tapi, rasa ini bergejolak pengen sekali membantu anak ini. Dari dulu saya ingin sekali menjadi dokter anak. Karena anak itu sungguh manusia yang unik. Manusia yang harus dimengerti seutuhnya. Karena mereka sangat rentan. Karena mereka masih lemah. Karena hidup mereka yang masih panjang. Karena mereka tonggak kehidupan berikutnya. Karena mereka masih butuh banyak perhatian, sehingga terkadang keluhan yang mereka berikan itu hanya sebuah keluhan bualan, bukan keluhan kesakitan. Itulah mereka, dan kita harus mengerti mereka.

4 comments:

  1. Begitulah anak-anak, kadang sulit diatur tapi juga bikin kangen... Aku juga sudah pernah mengalaminya... Hihi

    ReplyDelete
  2. hihihi..itulah anak-anak..ngangenin..rasanya sebuah hiburan tersendiri ketika bersama mereka...

    ReplyDelete