Wednesday, May 27, 2009

Pengobatan Massal: Memecahkan atau Menambah Masalah?

Bismillah..

Hm..pengobatan  masal merupakan aksi yang sering sekali digala oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran, untuk acara amal, bakti sosial, bahkan program dari suatu lembaga, dsb. Maksudnya baik menolong orang-orang yang tidak mampu dengan memberi kesempatan berobat murah bahkan gratis. Jarang-jarang saya mengikutinya, bukan karena apa-apa, tapi karena kesempatan yang datang pada saya sedikit. Hehe.. atau mungkin sayanya saja yang jarang menjemput kesempatan itu..

Ups..melenceng dari bahasan neh.. sebenernya bukan mu ngebahas seberapa sering saya ikutan pengobatan massal, tapi lebih ke konten dari pengobatan massal itu sendiri.

 

Saat-saat yang jarang itu saya manfaatkan untuk belajar berinteraksi  langsung dengan pasien dan juga belajar  banyak hal lainnya untuk bekla dikemudian hari. Biasanya seorang mahasiswa dalam pengobatan massal itu membantu di pendaftaran, vital sign(pemeriksaan yang penting menyangkut fungsi vital, seperti tensi, berat badan, suhu, nadi, pernafasan, dll), dan juga mengurusi peresepan atau sebagai apotekernya disini. Itulah kesempatan untuk bisa lebih mepraktekan ilmu-ilmu dasar yang kita punya, seperti menensi, semakin sering kita menensi akan semakin baik dan bisa menambah kepekaan kita dalam mendengar kemudian menentukan tekanan darah seseorang. Kemudian berada di bagian pendaftaran akan melatih seorang mahasiswa kedokteran untuk berkomunikasi dengan baik pada pasien karena komuniasi akan sangat diperlukan bagi seorang dokter kemudian, jika kita tidak mengomunikasikan semuanya kepada pasien kita, salah-salah mereka bisa menuntut dengan enaknya. Selain itu, kita pun bisa melatih diri untuk berinteraksi dengan orang, merasakan penderitaan mereka, berbahasa dengan bahasa mereka, dan memberikan empati dengan baik. Seseorang jika dihormati dan dihargai pasti akan kembali menghormati dan mengahargai kita. Hal ini penting untuk menimbulkan kepercayaan diantara dokter dan pasien. Jika kepercayaan itu timbul, maka pasien akan lebih cepat sembuh dan akan ringan dalam menaati aturan yang diberikan dokter.

 

Banyak sekali yang bisa kita (mahasiswa kedokteran) pelajari dari sebuah pengobatan massal. Selain itu, ada diposisi perobatan yaitu memberikan obat sesuai dengan resep yang telah diberikan, memang ini tugas seorang apoteker, tapi dokterlah yang meresepkan, sehingga seorang dokter pun harus tau tentang obat. Disini kita bisa melatih diri untuk lebih mengenal obat dan juga kita bisa belajar bagaimana dokter itu meresepkan obat pada pasiennya. Penyakit x diberi obat ini, penyakit y diberi obat itu, dsb. Selain itu, juga bisa berlatih untuk melihat cara penulisan resep yang benar dengan aturan-aturannya yang berbeda-beda. Yups begitu banyak pelajaran yang bisa diambil dari pengobatan massal ini.

 

Tapi..

Tidak hanya sebatas itu, ketika kita melihat secara baik-baik, pengobatan massal yang dilakukan untuk sebuah kerja sosial dalam rangka bakti sosial  atau apapun itu dimana dilakukan massal, pasiennya banyak, waktu dan sarana sedikit, bisa menjadi suatu dilema. Bayangkan ketika yang melakukan vital sign-menentukan tanda-tanda vital pada pasien, umumnya menensi atau mengukur tekanan darah pasien-kita lihat yang melakukan bisa saja mahaswiswa yang baru berpengalaman dan jam terjunnya belum lama, belum lagi tensimeter yang digunakan hanay sebuah tensimeter biasa dengan merek biasa, bukan sebuah tensimeter yang peka seperti merek litman, sehingga kesulitan dalam mendengar pun menjadi hambatan. Diulang-ulang terus tetap saja tidak terdengar, akhirnya hanya bisa berspekulasi dengan teknik kiro-kiro yang menjadi andalan. Bukan apa-apa, tapi mungkin karena tidak enak dengan pasien yang sudah menunggu lama dengan harap-harap cemas, tapi hasil tak kunjung tiba,  akhirnya cara ini dipilih. Yah..ini memang mental kerdil saudara-saudara. Padahal tensi ini penting, bisa menjadi arahan dokter dalam mendiagnosis dan memberi obat. Kalau saja kita salah mendengar, harusnya tekanan darahnya rendah, lalu kita tulisnya tinggi, ditambah pasien mengekuh pusing-pusing, bisa-bisa pasien ini diberi obat-obat antihipertens ayng dapat melemahkan kerja jantung, padahal dia lemas karena tekanannya rendah, tubuhnya sebenarnya menbutuhkan darah banyak, tetapi malah diberi obat yang dapat mengahambat penerimaan darah. Jadi aja pasien bisa tambah lemas dengan obat itu. Itu hanya salah satu contoh dari kesalahan mengukur tensi.

 

Kemudian, banyaknya pasien yang datang, tapi waktu dan tenaga yang relatif sedikit mengakibatkan pelayanan yang diberikan menjadi tidak maksimal dan lebih terkesan seadanya. Pasien melontarkan keluhan, lalu dokter menanggapi sedikit dan secepat kilat untuk menuliskan resep. Itulah yang saya tangkap, walau sebenarnya mungkin mereka tidak mau berbuat seperti itu, tapi mungkin mereka anggap cukup dengan mendiagnosis rata-rata hanya 5menitan. Wow..padahal baiknya bertatapan dengan pasien itu setidaknya membutuhkan waktu 15 menit, agar dapat tersampaikan dengan baik semua keluhan pasien itu. Akhirnya dokter lebih cenderung untuk menghilangkan atau mengobati gejalanya saja dibandingkan dengan mengobati penyebabnya. Padahal kita ketahui bahwa mengobati yang baik adalah obati kausanya bukan gejalanya. Ada keluhan pusing, maka bukan pusingnya yang diobati, tapi kenapa orang ini pusing? lalu sembuhkanlah penyebab dari kepusingannya ini. Kalau sudah mendesak dan gejalanya benar-benar mengganggu, baru obati gejalanya ini. Itu yang saya dapatkan dari dosen farmakologi. Agak miris memang melihatnya. Kemudiian, kepadatan pasien tapi waktu tatap muka yang seadanya dengan pasien, mengakibatkan pemberian obat yang tidak disesuai dengan masing-masing pasiennya, dimana sesuai dengan kaidah farmakokinetiknya. Harusnya tiap individu akan mendapatkan pengobatan yang berbeda-beda walau penyakitnya sama, karena fungsi tubuh dalam tiap individu itu akan berbeda-beda. Tapi disini masalah itu dikesampingkan. Di sini lebih melihat keadaan orang pada umumnya dalam keadaan norma.

 

Kemudian dalam masalah obat lainnya, yang saya lihat di sini adalah masalah higien dari obat. Rata-rata obat yang diberikan merupakan obat generik yang biasanya berbotol-botol. Lalu diambil satu-satu sesuai dengan dosis yang diresepkan oleh dokternya menggunakn sendok. Belum lagi, obat-obat tersebut nggak tau dari jaman kapan. Walaupun belum kadaluarsa, tapi tetap saja sudah terbuka dan tersimpan lama. Belum lagi, karena..lagi-lagi karena waktu, akhirnya sering sekali obat-obat tersebut dibiarkan terbuka begitu saja setelah selesai diambil. Saya membayangkan ada banyak kuman yang sudah hinggap di sana. Belum lagi masalah puyer. Yap, masalah yang telah menggemparkan Indonesia beberapa waktu yang lalu, tentang polemik puyer. Yang saya ketahui, puyer itu bukan merupakan suatu masalah jika penggunaannya benar. Puyer merupakan suatu bentuk obat dimana diperuntukan untuk anak yang tidak dapat meminum tablet. Puyer yang baik itu yang benar-benar puyer paten dimana emang sudah ditakar dengan baik, menggunakan alat pembuat yang steril, pembagian harus tepat dengan dosis yang telah diperhitungkan dengan tepat, dan pengemasannya pun mesti steril. Tapi itu jatuhnya akan lebih mahal dibandingkan dengan obat tablet pada umumnya. Oleh karena itu, puyer yang ada umumnya, terutama dalam pengobatan yang dilakukan secara massal ini, dimana sarana, biaya dan waktu yang tersedia terbatas, hanyalah puyer seadanya puyer. Obat-obat yang sudah dalam bentuk tablet yang diresepkan dicampur, kemudian diulek menggunakan alat khusus untuk menggerus (baca: ulekan) hingga halus, lalu dibagi-bagi sesuai dengan resep, semua itu benar-benar tidak mengikuti kaidah dengan baik. Dimana sajakah salahnya? Satu, ulekan yang digunakan tidak jelas kesterilannya. Dalam satu kali pengobatan massal pasti menggunakan cawan yang sama tanpa dicuci terlebih dahulu, bisa-bisa bekas obat yang sebelumnya akan tercampur dengan komposisi obat yang sekarang. Dua, obat yang digunakan bukan merupakan obat murni, melainkan menggunakan obat yang sudah dalam bentuk tablet dimana sudah tercampur dengan bahan-bahan lain, sehingga dikhawatirkan akan adanya interaksi dengan obat lainnya. Tiga, pembagian yang dilakukan juga tidak sesuai dengan aturan, hanya menggunakan feeling, kalau feelingnya baik, maka akan terbagi dengan rata, tapi kalo feeling ternyata lagi jelek, bisa-bisa kemasan yang satu dosisnya 200mg, yang satunya lagi cuma 50mg, bahaya kalau gitu jadinya. Empat, pembungkus yang digunakan juga ditanyakan soal kesterilannya, belum lagi tempat yang seadanya sehingga tempat meletakkan pembungkusnya pun ditanyakan kesterilannya. Jika ternyata memang benar tidak steril dan daya tahan tubuh anak, ini malahan bisa membuat anak menjadi tambah sakit dengan puyer tersebut, bukan malah tambah sembuh.

 

Sebatas itu yang bisa saya amati, walaupun sebenarnya masih banyak lagi yang bisa diamati. Mungkin ini tidak terjadi pada setiap pengobatan massal yang ada, tapi minimal kenyataan ini terjadi pada pengobatan massal yang pernah saya ikuti. Jika saya ambil kesimpulan, ini bukan salah dari wadah yang namanya pengobatan massal. Karena menurut saya pengobatan massal merupakan suatu wadah yang memberikan kesempatan bagi masyarakat khususnya masyarakat yang tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya yang sangat murah bahkan gratis. Yang salah disini adalah caranya sehingga pemberian pelayanan yang diberikan hanya seadanya, sebatas masyarakat mendapatkan obat, kemudian pulang, selanjutnya apa yang terjadi bukan urusan kami lagi. Ckckck.. Seharusnya walaupun pengobatan massal tapi tetap efektif untuk memberikan pelayanan yang terbaik dari petugas kesehatan kepada masyarakat.

Wallahu a’lam.

7 comments:

  1. Saya selalu heran..entah karena ini sifat bawaan manusia.Atau karena peradaban sekarang membuat manusia menjadi seperti sekarang.Dan paradigma yg menurut saya adalah racun. Yaitu kita akan bekerja serius saat pekerjaan itu menjadi kebutuhan kita. Celakanya, kebutuhan publik ato sosial makin tidak masuk kebutuhan kita.

    Walhasil, banyak pelayanan sosial terbengkalai.Ditambah lagi privatisasi yg menyebabkan utk mendapat pelayanan baik kita harus membayar lebih.Dan celakanya lagi, orang yg mampu tidak sebuaanyak orang yg tidak mampu.Tidak heran jika pada akhirnya..

    Menyedihkan dan menyesakkan hati. Mari kita berbuat, kalo perlu jemput bola.Itulah guna kita diberi kelebihan menempuh pendidikan yg lebih baik.C#

    ReplyDelete
  2. yups yups..
    terkadang melakukan itu akan lebih sulit dibandingkan hanya sekedar berbicara..
    (semoga semua ini bisa menjadi kritikan untuk diriku sendiri kelak ketika terjun beneran)
    bahwa sebenarnya pelayanan itu tidak hanya sekedar murah dan gratis..tapi juga bener2 pelayan yang maksimal..

    sifat bawaan, g juga ah..karena manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, dalam keadaan islam yang suci, bersih tanpa noda..
    cara pendidikan dan lingkungan lah yang kemudian akan mempengaruhi itu semua..mungkin peradaban sekarang yang kian memburuk dapat mempengaruhi semua itu..

    ReplyDelete
  3. yups yups..
    terkadang melakukan itu akan lebih sulit dibandingkan hanya sekedar berbicara..
    (semoga semua ini bisa menjadi kritikan untuk diriku sendiri kelak ketika terjun beneran)
    bahwa sebenarnya pelayanan itu tidak hanya sekedar murah dan gratis..tapi juga bener2 pelayan yang maksimal..

    sifat bawaan, g juga ah..karena manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, dalam keadaan islam yang suci, bersih tanpa noda..
    cara pendidikan dan lingkungan lah yang kemudian akan mempengaruhi itu semua..mungkin peradaban sekarang yang kian memburuk dapat mempengaruhi semua itu..

    ReplyDelete
  4. Ikut gabung ya...
    Nah pada akhirnya semua akan kembali ke pribadi masing-masing kan... Menurut saya hal terpenting di sini yakni menanamkan kesadaran dan mau melek dengan kesalahan yang secara sadar maupun tidak sering kita lakukan. Juga jangan kita jadi orang tuli dan bisu, maksudnya kita harus mau dan bisa menerima masukan/saran dari orang lain dan juga tidak sungkan untuk memberikan masukan apabila memang perlu dilakukan. Sayangnya, baru sedikit orang yang mau sadar tentang hal itu. Dan lagi-lagi semua akan kembali ke akhlaq masing-masing orang. Di mana kita bisa menumbuhkan akhlaq yang baik kalau kita malas mencarinya! Ya akhlak yang baik itu akan ditemukan apabila kita mau lebih dekat denganNYA. Lebih... Lebih... Dan Lebih... Dekat denganNYA dengan cara sering mengingatNYA juga sering mengkaji agama yang diturunkanNYA dengan pemahaman yang benar tentunya. Ayo ajak orang di sekeliling kita untuk dekat dengan Sang Pencipta, kalaupun sulit kita mulai dari diri kita masing-masing. Semoga apa yang kita lakukan mendapat barakah. Amiin...

    (nyambung ga' sih, he...)

    ReplyDelete
  5. Ima,manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah,tidak brdosa.Bukan brarti manusi tidak dibekali sifat buruk.Manusia tetap dibekali sifat baik dan buruk.Dari sabar,mpe egois.Dari bikin gemes,mpe bikin nasi rames.Hanya lingkungan hidupnya yg akan membuat sifat manusia manusia bagian mana aja yg akan dominan.C#

    ReplyDelete
  6. yayaya..Allah memang menciptakan semuanya selalu berpasang2an..termasuk baik dan buruk..

    tapi yo..selama saya belajar bahasa indonesia, hm..kurang lebih 14 tahunan...bikin gemes n bikin nasi rames..kayanya bukan sesuatu yang bisa dipasangkan deh,,he..^^

    ReplyDelete
  7. yah..yah..yah..saya setuju...
    dengan semakin dekat kepada Allah,insya Allah kita akan menjadi pribadi yang baik pula..
    aamiiin..

    nyambung g nyambung..bisa ko klo disambung2in...he..^^

    ReplyDelete